Beranda | Artikel
Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah Al-Kubra – Kemudharatan Dihilangkan Sebisa Mungkin (Kaidah 4)
Rabu, 2 Januari 2019

Kaidah 4

اَلضَّرَرُ يُزَالُ

Adh-Dhararu Yuzaalu

(Kemudharatan Dihilangkan Sebisa Mungkin)

Kaidah ini memiliki sudut pandang yang sedikit mirip dengan kaidah sebelumnya. Kaidah اَلضَّرَرُ يُزَالُ berkaitan dengan kemudharatan yang terjadi di antara para hamba, dimana kemudharatan, kesulitan, dan sejenisnya sebisa mungkin dihilangkan di antara para hamba. Sedangkan kaidah اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ berkaitan dengan hak Allah, dimana Allah memberikan kemurahan apabila ada kesulitan-kesulitan yang menimpa hamba-Nya maka Allah akan memberikan kemudahan-kemudahan.

Oleh karena itu, kaidah اَلضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ  (keadaan darurat membolehkan sesuatu yang sebelumnya haram) terkadang digolongkan oleh para ulama sebagai turunan dari kaidah اَلضَّرَرُ يُزَالُ, sebagai contoh apabila seseorang diserang oleh orang jahat, maka tidak mengapa baginya untuk membela dirinya lantas membunuh orang jahat tersebut demi menghindarkan kemudharatan (kematian) itu terjadinya pada dirinya walaupun harus membunuhnya. Ini berkaitan dengan hak diantara sesama hamba Allah.

Namun kadang pula digolongkan oleh para ulama sebagai turunan dari kaidah اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ, sebagai contoh seseorang yang terpaksa memakan babi ketika keadaan darurat di dalam hutan dan dia tidak menjumpai makanan yang halal. Makan babi tidak memberi mudharat bagi orang lain, tapi ini berkaitan dengan hak Allah yang dilanggar yang asalnya makan babi itu haram, tetapi menjadi mubah karena menghindarkan mudharat dari dirinya.

Maknaاَلضَّرَرُ  (Ad-Dharar)

Kaidah اَلضَّرَرُ يُزَالُ berasal dari sabda Nabi,

لا ضَرَرَ ولا ضِرارَ

Tidak boleh berbuat dharar, begitu pula tidak pula berbuat dhirar.” (HR Ibnu Majah no. 2340, shahih)

Lantas apa makna dharar dan dhirar di dalam hadits di atas? Para ulama berbeda pendapat di dalam makna kedua lafadz tersebut.

Pendapat pertama, sebagian ulama mengatakan dharar sama dengan dhirar, keduanya bermakna kemudharatan

Pendapat kedua, sebagian ulama yang lain mengatakan dharar berbeda dengan dhirar. Hal ini karena Nabi memunculkan kedua lafadz tersebut tanpa terkecuali dan menafikan kata dhirar sebagaimana dharar. Maka dalam hal ini, berlaku sebuah kaidah dalam bahasa arab اَلْأَصْلُ فِي الْكَلَامِ اِلتَّأْسِيْسُ لَا اَلتَّأْكِيْدُ artinya hukum asal dalam pembicaraan adalah penyebutan kalimat yang bermakna baru bukan penekanan. Pada dasarnya ketika orang berbicara sebuah kalimat baru setelah kalimat, maka hukum asalnya dia tidak berniat untuk mengulanginya atau memberikan penegasan, melainkan kalimat kedua adalah kalimat dengan makna baru yang berbeda dengan kalimat pertama.

Pada pendapat kedua ini, para ulama berbeda lagi tentang perbedaan dan makna masing-masing dari dharar dan dhirar.

  1. Dharar adalah memberi kemudharatan kepada orang lain agar dirinya mendapatkan manfaat dengan hal tersebut. Seperti orang yang menanam mangga di halaman rumahnya lalu tumbuh menjulang hingga ke halaman rumah tetangganya. Tetapi yang boleh mengambil buah tersebut hanya dia, adapun tetangganya tidak.
    Sedangkan dhirar adalah memberi kemudharatan kepada orang lain tetapi dirinya tidak mendapat manfaat. Seperti ketika dia mengendarai mobil di tengah jalan yang digenangi oleh air lalu terciprat sehingga mengenai pejalan kaki yang lewat di jalan tersebut.
  2. Dharar adalah memberikan kemudharatan kepada orang lain dengan status dia yang memulai. Sedangkan dhirar adalah memberikan kemudharatan dengan status membalas kemudharatan dari orang lain dengan kemudharatan yang lebih parah.

Kesimpulan dari perbedaan-perbedaan pendapat ini yaitu walaupun para ulama berbeda pendapat dalam memaknai dharar dan dhirar, intinya segala kemudharatan apapun bentuknya adalah hal yang terlarang yang harus dihilangkan. 

Macam-Macam Kemudharatan

Pada dasarnya, secara umum kemudharatan terbagi ke dalam tiga jenis, yaitu:

  1. Kemudharatan yang memang diizinkan oleh syariat. Seperti praktek hudud, hukum qishash, dan hukuman ta’zir dari ulil amri, secara dzhahir semua ini adalah bentuk mudharat tetapi hakikatnya mendatangkan maslahat.
  2. Kemudharatan yang menimpa banyak orang dan susah dihindari (تَعُمُّ بِهِ الْبَلْوَى). Seperti, asap kendaraan dan bunyi klakson di jalan raya, ini merupakan kemudharatan yang juga dimaafkan karena hampir tidak mungkin menghilangkannya. Atau contoh lain, dalam jual beli, seorang penjual yang menjual apel 1 keranjang maka tidak bisa dijamin 100% pasti bagus semua.
  3. Kemudharatan dimana orang yang ditimpa kemudharatan itu telah memafkan. Contoh, seorang wanita yang akan menikah dengan lelaki miskin, sehingga dia (si istri tersebut) akan mendapat kemudharatan. Namun jika walinya ridha maka hal ini tidak masalah.
  4. Kemudharatan yang diharamkan, yaitu selain dari tiga jenis kemudharatan di atas.

Catatan : Dalam kaidah اَلضَّرَرُ يُزَالُ ini, yang menjadi pokok pembahasan adalah jenis kemudharatan yang ke empat yang mana merupakan kemudharatan yang harus dihilangkan. Adapun tiga kemudharatan yang pertama, keluar dari pembahasan kaidah ini.

Dalil-Dalil Tentang Kaidah

Allah berfirman,

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ ۚ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِّتَعْتَدُوا ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ۚ

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.” (QS Al-Baqarah : 231)

Misalnya seorang suami yang sudah tidak suka dengan istrinya, kemudian dia mentalak istrinya. Istrinya menjalani masa iddahnya, sebelum masa iddahnya selesai suaminya kembali merujuknya. Kemudian suaminya kembali mentalaqnya (talak kedua). Sang wanita tersebut kembali menjalani masa iddahnya, lalu sebelum masa iddahnya berakhir suaminya kembali merujuknya. Suaminya melakukannya terus menerus hingga talak tiga. Hal ini dilakukan oleh suami karena dia bermaksud memberikan kemudharatan kepada istrinya agar dia terkatung-katung dalam waktu yang lama sehingga tidak ada laki-laki lain yang bisa menikahinya. Perbuatan seperti ini tidak diperbolehkan, Allah memerintahkan jika ingin kembali maka kembalilah dengan cara yang baik untuk membangun rumah tangga yang baik, namun jika tidak ingin lagi bersama maka ceraikanlah dengan cara yang baik dan jangan memberikan kemudharatan kepada sang istri. Allah juga berfirman,

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ ۚ

“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (QS At-Talaq : 6)

Dalil lainnya adalah Allah berfirman,

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ ۚ

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya.” (QS Al-Baqarah : 233)

Demikianlah apabila seorang suami dan seorang istri bercerai, terkadang mereka akan melampiaskan kebenciannya kepada sang mantan istri/suami tersebut kepada anaknya agar sang mantan istri/suami sedih. Hal ini tidak boleh dilakukan karena akan menimbulkan kemudharatan.

Dalil lainnya, Allah berfirman,

مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ ۚ

“Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris).” (QS An-Nisa : 12)

Ayat ini berbicara tentang warisan dari seseorang yang meninggal. Terkadang orang yang meninggal tersebut semasa masih hidup, dia jengkel kepada ahli warisnya, misalnya anak-anaknya nakal atau tidak berbakti kepadanya. Sehingga dengan itu dia membuat wasiat di akhir hayatnya agar setengah dari total hartanya diberikan untuk pembangunan pondok pesantren. Maka hal seperti ini tidak boleh karena wasiat hanya boleh diambil dari maksimal sepertiga total harta, lebih dari itu akan memberi kemudharatan ahli waris. Demikian juga jika dia mengaku punya hutang (padahal tidak), dengan tujuan agar ahli warisnya tidak mendapatkan bagian dari hartanya atau hanya mendapatkan sedikit. Seperti ini juga hukumnya haram karena memberi kemudharatan kepada ahli waris.

Diantara dalil dari kaidah ini adalah sabda Nabi yang juga merupakan kunci dari kaidah ini,

لا ضَرَرَ ولا ضِرارَ

Tidak boleh berbuat dharar, begitu pula tidak pula berbuat dhirar.” (HR Ibnu Majah no. 2340, shahih)

Contoh-Contoh Penerapan Kaidah اَلضَّرَرُ يُزَالُ :

Sebelumnya telah disampaikan beberapa dalil sekaligus contoh langsung yang diberikan oleh Allah tentang kaidah ini. Contoh-contoh lain dari kaidah sangat banyak, intinya segala hal yang bisa menimbulkan kemudharatan harus dihilangkan. Akan tetapi, berikut ini beberapa contoh tentang kaidah ini yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari:

  • Dua orang yang telah selesai melakukan transaksi jual beli. Misal, seorang pembeli membeli sebuah mobil kepada seorang penjual dengan harga yang jauh melebihi harga pasaran. Setelah si pembeli mengetahui bahwa dia dibohongi dan merasa dirugikan dengan harga jual yang terlalu mahal (ghabn) tersebut, maka dia berhak mengajukan khiyar ghabn ke pengadilan. Bentuknya dengan diberikan kesempatan kepadanya untuk memilih apakah dia tetap lanjutkan pembelian, atau dia batalkan, atau dia memilih tetap membeli tetapi mengambil ganti rugi. Atau dalam kasus yang lain dia ditipu, maka dia berhak mengajukan khiyar tadlis. Atau dia membeli barang tetapi barang tersebut cacat, maka dia berhak mengajukan khiyar ‘aib, dengan bentuk penawaran yang sama dengan khiyar ghabn. Semua bentuk khiyar ini disyariatkan salah satunya dalam rangka untuk menolak kemudharatan.
  • Seseorang yang memonopoli suatu jenis barang atau makanan lalu dia menyimpannya. Ketika harga pasar barang tersebut naik, dia menjualnya dengan harga yang tidak wajar. Maka pemerintah berhak untuk memaksanya agar menjualnya kembali dengan harga yang wajar.
  • Seseorang yang punya talang air di depan rumahnya sehingga air dari rumahnya tersebut mengarah ke jalan umum. Maka pemerintah berhak untuk menyuruhnya agar memasukkan talang tersebut ke bagian rumahnya.
  • Seorang suami yang tidak pulang ke rumahnya dalam waktu yang lama sehingga istri dan anak-anaknya tidak pernah dinafkahi dan tidak bisa dihubungi sehingga tidak diketahui apakah dia sudah meninggal atau bagaimana. Semua ini menimbulkan kemudharatan bagi istri dan anak-anaknya. Maka pemerintah berhak untuk memvonis si suami dianggap sudah meninggal agar si istri bisa menikah lagi, atau dianggap cerai.

Kaidah-Kaidah Turunan

Pertama:

اَلضَّرَرُ يُدْفَعُ عَلَى قَدرِ الْإِمْكَانِ

(kemudharatan dihilangkan semaksimal mungkin meskipun tidak seluruhnya hilang)

Ini merupakan kaidah yang penting terutama dalam masalah nahi mungkar, karena diantara bentuk kemudharatan adalah kemungkaran. Patut diketahui bahwa nahi mungkar ada dua bentuk, pertama nahi munkar untuk menghilangkan kemungkaran secara total, kedua nahi mungkar dengan cara meminimalkan kemungkaran tersebut. Bahkan dalam beberapa kondisi, perbuatan nahi mungkar itu sendiri mengandung kemungkaran, tetapi itu dilakukan demi menghilangkan kemungkaran yang lebih besar darinya.

Diantara dalil akan kaidah ini, Allah berfirman,

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْرًا لِّأَنفُسِكُمْ ۗ

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu.” (QS At-Taghabun : 16)

وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS An-Nisa : 34)

Diantara dalilnya dari sunnah Nabi adalah hadits,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ

Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dia merubah hal itu dengan lisannya. Apabila tidak mampu lagi, hendaknya dia ingkari dengan hatinya dan inilah selemah-lemah iman.” (HR Muslim no. 49)

Diantara contoh penerapan kaidah ini adalah seperti Nabi Yusuf yang menjadi bendahara negeri Mesir padahal negeri Mesir saat itu adalah negeri kafir. Namun Nabi Yusuf masuk ke dalam sistem kafir tersebut untuk mengurangi kemudharatan negeri tersebut walaupun tidak akan seluruhnya hilang. Demikian pula di zaman sekarang, orang yang masuk ke dalam lembaga-lembaga pelayanan masyarakat yang mana masih menganut sistem kafir, maka dia tidak akan bisa menghilangkan kemungkaran tetapi paling tidak dia bisa menguranginya.

Kedua:

اَلضَّرَرُ لَا يُزَالُ بِمِثْلِهِ

(kemudharatan tidak dihilangkan dengan memunculkan kemudharatan yang semisal apalagi kemudharatan yang lebih parah)

Diantara contoh penerapannya, misalnya seseorang yang diancam akan dibunuh apabila tidak membunuh kawannya. Jika dia dibunuh maka itu adalah kemudharatan, namun jika dia ingin menyelamatkan dirinya dengan membunuh kawannya tersebut maka itu adalah bentuk menimbulkan kemudharatan yang sama. Sehingga dalam hal ini dia tidak boleh melakukannya, karena nyawanya tidak lebih berharga dari pada nyawa kawannya. Dan kemudharatan tidak boleh ditolak dengan memunculkan kemudharatan yang sama.

Contoh lainnya, seseorang yang miskin, dia mempunyai kawan yang sama-sama miskin. Maka dia tidak boleh memberikan hartanya kepada kawannya tersebut demi menghilangkan mudharat pada kawannya karena akan memunculkan mudharat pada dirinya dan istrinya.

Ketiga:

اِرْتِكَابُ أَخَفِّ الضَّرَرَيْنِ

(menempuh kemudharatan yang lebih ringan yang mana kedua mudharat tersebut tidak bisa dihindari)

Kaidah ini diterapkan apabila dihadapkan pada dua kemudharatan yang tidak bisa dihindari semuanya secara sekaligus, tidak boleh tidak harus dilakukan dan tidak ada pilihan ketiga. Maka dalam hal ini sikap yang diambil adalah menempuh kemudharatan yang lebih ringan.

Dalil tentang hal ini adalah kisah orang badui yang kencing di masjid. Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, beliau berkata, Seorang Arab Badui pernah memasuki masjid, lantas dia kencing di salah satu sisi masjid. Lalu para sahabat menghardik orang ini. Namun Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang tindakan para sahabat tersebut. Tatkala orang tadi telah menyelesaikan hajatnya, Nabi shallallahu alaihi wa sallam lantas memerintah para sahabat untuk mengambil air, kemudian bekas kencing itu pun disirami. (HR Bukhari no. 221 dan Muslim no. 284)

Kencing di masjid adalah mudharat karena dengannya masjid akan terkena oleh najis. Namun jika orang badui tersebut dilarang maka kemudharatan yang lebih besar akan muncul yaitu air kencingnya menjadi berhamburan. Pada kasus ini, Nabi dihadapkan pada dua kemudharatan yang tidak bisa dihindari semua secara sekaligus, maka Nabi menempuh kemudharatan yang lebih ringan dengan membiarkan orang badui tersebut.

Demikian pula tentang kisah Nabi Khidhir, ketika melubangi kapal yang ia tumpangi. Merusak kapal adalah bentuk kemudharatan, namun Nabi Khidhir memilih untuk melakukan itu demi menghindarkan mudharat yang lebih besar. Nabi Khidhir menjawab alasannya melakukan itu,

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.” (QS Al-Kahfi : 79)

Contoh penerapan kaidah turunan ini adalah apa yang dikatakan oleh para ulama, ketika terjadi peperangan antara kaum muslimin dan kaum musyrikin. Kaum musyrikin menyandera sebagian kaum muslimin dan menggunakannya sebagai “tameng” mereka. Mereka memanfaatkannya agar bisa semakin maju ke barisan kaum muslimin lalu menyerangnya. Apabila pasukan kaum muslimin dihadapkan dengan kasus ini, maka panglima perang bisa memutuskan untuk membunuh “tameng” kaum musyrikin tersebut walaupun mereka adalah kaum muslimin, demi menghindarkan mudharat yang lebih besar yaitu berjatuhannya nyawa kaum muslimin yang lebih banyak jika dibiarkan saja.

Demikian pula apa yang dilakukan oleh Nabi ketika membiarkan saja keluarga Yasir dan Bilal bin Rabah disiksa. Beliau tidak menolongnya karena bisa jadi menimbulkan kemudharatan yang lebih besar, bisa jadi kaum muslimin yang akan disiksa semakin banyak. Sebagian ulama juga mencontohkan, jika dalam sebuah negeri akan dipilih pemimpin dari kedua calon yang sama-sama kafir, maka apabila bisa dipastikan bahwa salah satunya akan lebih mendatangkan maslahat untuk Islam maka pilihlah calon tersebut. Bukan berarti dengan memilih berarti mendukung kemudharatan, akan tetapi sikap tersebut adalah sikap untuk memilih kemudharatan yang lebih ringan dari dua kemudharatan yang pasti terjadi salah satunya.

Keempat:

يُحْتَمَلُ الضَّرَرُ الْخَاصُّ لِدَفْعِ الضَّرَرِ الْعَامِّ

(ditempuh kemudharatan yang khusus untuk menolak kemudharatan yang umum)

Contoh penerapan kaidah ini, seseorang yang memiliki rumah, tembok rumahnya miring yang mana bisa menimbulkan gangguan bagi beberapa tetangganya. Maka pemerintah bisa menyuruhnya untuk memperbaiki temboknya tersebut walaupun harus menghabiskan sekian dana yang tidak sedikit, demi menghindarkan gangguan yang bisa menimpa banyak tetangganya.

Contoh lainnya, mengghibah orang yang sering menipu orang lain di hadapan manusia dalam rangka untuk memperingatkan mereka dari perbuatannya. Asalnya mengghibahinya berarti memberi kemudharatan untuk dirinya, tetapi tidak mengapa melakukannya demi menghindarkan kemudharatan yang lebih besar, karena kalau tidak maka akan banyak manusia yang akan terperdaya. Hal ini sama dengan mengghibah para da’i penyeru kesesatan demi menghindarkan kaum muslimin dari konten-konten kesesatan yang dia dakwahkan.

Kelima:

دَرْءُ الْمفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

(menolak kemudharatan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan)

Kaidah ini diterapkan apabila maslahat dan mudharatnya sama, tidak ada dari keduanya yang lebih besar. Maka didahulukan untuk meninggalkannya demi menghindarkan diri dari mudharat yang akan timbul walaupun harus mengorbankan maslahat yang bisa diraih.

Diantara dalil tentang kaidah ini yaitu hadits Nabi,

وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا

Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (menghirup air dalam hidung) kecuali jika engkau berpuasa. (HR Abu Daud no. 142)

Beristinsyaq (menghirup air ke hidung) dengan sungguh-sungguh akan mendatangkan maslahat, tetapi ketika berpuasa menghirup dengan sungguh-sungguh dikhawatirkan air yang masuk bisa tertelan masuk ke dalam lambung sehingga membatalkan puasa.

Contoh penerapan kaidah ini, jika ada seorang wanita yang wajib baginya untuk mandi junub, namun dia tidak menjumpai tempat mandi yang tersembunyi dari penglihatan para lelaki. Maka dia wajib menunda mandinya demi menghindarkan diri dari kemudharatan yaitu dilihat oleh lelaki ketika mandi.

Contoh lain, seorang muslim yang sedang berihram. Menyela-nyelai jenggot ketika berwudhu adalah sunnah, tetapi jika dia khawatir dengan mengamalkan sunnah tersebut jenggotnya akan rontok dimana dia statusnya sedang berihram, maka tidak mengapa baginya tidak melaksanakan sunnah tersebut.

Contoh lain, seorang yang ingin meninggikan rumahnya. Semakin tinggi rumahnya maka dia akan mendapatkan udara yang segar, sinar matahari yang cukup, sehingga itu merupakan kemaslahatan bagi dia. Tetapi dampaknya adalah tetangganya yang mengalami kemudharatan, udara jadi sulit masuk ke rumahnya, sinar matahari tidak sampai ke dalam rumahnya. Maka dalam hal ini tidak sepatutnya orang tersebut meninggikan rumahnya untuk menghindarkan kemudharatan yang akan timbul.

Adapun jika kemaslahatan itu lebih besar daripada kemudharatan yang akan timbul, maka mengambil kemaslahatan itu lebih diutamakan walaupun harus menghadapi kemudharatan. Misalnya apabila dalam sebuah negeri diadakan pemilihan Presiden, dimana calonnya adalah seorang muslim dan seorang kafir. Maka memilih dan mengikuti pemilu lebih afdhal walaupun harus menabrak sistem kafir demokrasi tersebut, campur baur antara laki-laki dan perempuan ketika memasuki TPS (Tempat Pemungutan Suara). Karena kemaslahatan yang menanti jelas lebih besar jika Presiden yang terpilih dari orang muslim dibandingkan apabila menghindarkan diri dari kemudharatan ketika memasuki TPS.

Bersambung Insya Allah…

Logo

Artikel asli: https://firanda.com/2464-al-qawaid-al-fiqhiyyah-al-kubra-kemudharatan-dihilangkan-sebisa-mungkin-kaidah-4.html